Postingan kali ini, memang tidak ada hubunganya dengan postingan-postingan sebelumnya, kenapa karena memang nanti besok di indonesia akan menghadapi suatu moment langka dan moment yang luar biasa, seingga kita perlu memahami lebih jauh tentang gerhana ini, yuk selengkapnya di simak ya.... jangan lupa di share supaya kita sama-sama tahu... berikut penjelasanya
Bagaimana Islam menghadapi moment
semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto ria.
Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Simak pembahasan
berikut ini.
Keyakinan Keliru
Banyak masyarakat awam yang tidak paham
bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak di antara mereka yang
mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang
menyelisihi aqidah yang benar. Di antaranya, ada yang meyakini bahwa di saat
terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan
matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur
dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa.
Ada juga masyarakat yang meyakini
bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, sehingga apabila mereka
berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai
bentuk percintaan mereka.
Sebagian masyarakat seringkali
mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya
kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun
sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun
membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak
terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana
tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.” (HR. Bukhari
no. 1044)
Memang pada saat terjadinya gerhana
matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabishallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim. Dari Al Mughiroh
bin Syu’bah, beliau berkata,
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ
الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
– « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
”Di masa Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim.
Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian
Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan
berdo’alah.’” (HR. Bukhari
no. 1043)
Ibrahim adalah anak dari budak Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam yang
bernama Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak memiliki anak
kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala Ibrahim meninggal, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan begitu sedih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan ketika kematian anaknya
ini,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ
نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ
لَمَحْزُونُونَ
”Air mata ini mengalir dan hati ini
bersedih. Kami tidak mengatakan kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai
Ibrahim-karena kepergianmu ini, kami bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303) (Lihat Tawdhihul
Ahkam min Bulughil Marom, 2/305, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425
H)
Itulah keyakinan-keyakinan keliru
yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim ketika terjadi fenomena semacam
ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan mengenai gerhana, shalat gerhana dan
hal-hal yang mesti kita lakukan ketika itu. Kami tidak ingin berpanjang-panjang
lebar mengenai hal ini. Kami cukup menyampaikan secara ringkas, sehingga
pembaca bisa lebih mudah memahami.
Kalau dalam pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari dahulu, fenomena gerhana matahari
adalah seperti pada gambar ini.
Posisi gerhana matahari adalah bulan
berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi. Jadi, bulan ketika itu
menghalangi sinar matahari yang akan sampai ke bumi. Ini gambaran singkat
mengenai gerhana matahari.
Menurut pakar bahasa Arab, mereka
mengatakan bahwa kusuf adalah terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya
cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi.
Inilah yang dimaksud gerhana matahari. Sedangkan khusuf adalah sebutan untuk
gerhana bulan. (Al Mu’jamul Wasith,
hal. 823)
Jadi ada dua istilah dalam pembahasan
gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf
adalah gerhana bulan.
Definisi yang tepat jika kita
katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak disebut berbarengan maka kusuf dan khusuf
bermakna satu yaitu gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan
khusuf disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan
khusuf bermakna gerhana bulan. (Lihat Syarhul Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’,
2/424, Dar Ibnul Haitsam)
Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin inilah
yang akan ditemukan dalam beberapa hadits. Kadang dalam suatu hadits
menggunakan kata khusuf, namun yang dimaksudkan adalah gerhana matahari atau
gerhana bulan karena khusuf pada saat itu disebutkan tidak berbarengan dengan
kusuf.
Wajib atau Sunnahkah Shalat Gerhana?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat
ditekankan). Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib.
Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita
timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang
kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana
mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah:
kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal
perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh
Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.
Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai
Hukum Shalat Gerhana Bulan
Pendapat pertama menyatakan bahwa
hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana
matahari (ini bagi yang menganggap shalat gerhana matahari adalah sunnah
mu’akkad, pen) dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang dipilih
oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh
’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan pula
dari Ibnu ’Abbas.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa
hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa yaitu
dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan mengeanai tata cara shalat
gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat gerhana bulan tidak
perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik.
Manakah yang lebih kuat? Pendapat
pertama dinilai lebih kuat, karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk shalat ketika
melihat kedua gerhana tersebut tanpa beliau bedakan (Lihat pembahasan
ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/432-433, Al
Maktabah At Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung pendapat
pertama tadi. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana
yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)
Kita kembali lagi pada pembahasan di
atas. Kami nilai sendiri bahwa shalat gerhana adalah wajib sebagaimana yang
juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalamSyarhul Mumthi’.
Kalau ada yang mengatakan bahwa
shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu saja. Maka para ulama yang
menyatakan wajibnya shalat gerhana akan menyanggah, “Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam menyebut shalat lima waktu itu wajib karena shalat tersebut berulang
di setiap waktu dan tempat (maksudnya: shalat lima waktu adalah shalat yang
diwajibkan setiap saat dan bukan karena sebab, pen). Adapun shalat gerhana dan
tahiyatul masjid (bagi yang menilai hukum shalat tahiyatul masjid adalah wajib)
atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib karena ada sebab
tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan seperti shalat wajib mutlaq (maksudnya:
berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada seseorang bernadzar akan
menunaikan shalat dua raka’at. Shalat karena nadzar ini wajib dia kerjakan
walaupun shalat tersebut bukan shalat lima waktu. Shalat ini wajib dikerjakan
karena sebab dia bernadzar. Jadi, shalat yang wajib karena sebab tertentu tidak
seperti shalat wajib muthlaq yang tanpa sebab.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai kuat. Namun sangat
disayangkan orang-orang malah lebih senang melihat fenomena gerhana matahari
atau gerhana bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban yang satu ini.
Semua hanya sibuk dengan dagangan, hanya berfoya-foya atau sibuk di ladang.
Kami takutkan, mungkin saja gerhana ini adalah tanda diturunkannya adzab
sebagaimana yang Allah takut-takuti melalui gerhana ini. Kesimpulannya,
pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat daripada yang menyatakan sekedar
dianjurkan.” (Lihat penjelasan yang sangat menarik ini di Syarhul Mumthi’, 2/429)
Jadi bagi siapa saja yang melihat
gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana.Wallahu a’lam, wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita
dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya.
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana
adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda
di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi
karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya,
berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang
(berakhir).” (HR. Bukhari
no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana juga boleh dilakukan
pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar,
padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana
tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”(HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”(HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika
Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah dzikir,
istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak
terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”(HR. Bukhari no. 1044)
Kedua: keluar mengerjakan shalat
gerhana secara berjama’ah di masjid.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal
ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam mengendari
kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam melewati
kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan
shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam mendatangi
tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah, 1/343)
Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai
dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di
masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat
dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya
gerhana.” (Fathul Bari,
4/10)
Lalu apakah mengerjakan dengan
jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika
seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah.
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika kalian melihat gerhana
tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari
no. 1043)
Dalam hadits ini, beliau shallallahu
’alaihi wa sallam tidak
mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena
itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan
walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan
lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama
(afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid
dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan
banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga
adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)
Ketiga: wanita juga boleh shalat
gerhana bersama kaum pria.
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau
berkata,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ
يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ
بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ
فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu
‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana
matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut
berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah
mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci
Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk
mengatakan iya.” (HR. Bukhari
no. 1053)
Bukhari membawakan hadits ini pada
bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama kaum pria
ketika terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ
مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan
untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum
pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)
Kesimpulannya, wanita boleh ikut
serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika
ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria),
maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah, 1/345)
Keempat: menyeru jama’ah dengan
panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu
’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا.
وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan
bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana
matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH
SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas
berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan
empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak
diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak
ada dalam shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah shalat
gerhana.
Disunnahkah setelah shalat gerhana
untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan
banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal
ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ
عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى
الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ،
ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ
الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم
فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ
وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa
gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan
beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih
singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan
memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya.
Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at
berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau
beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan
menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi
karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut
maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai
umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada
Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina.
Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui,
niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Khutbah yang dilakukan adalah sekali
sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar
sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul
Mumthi’, 2/433)
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua
raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat
mengenai tata caranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat
gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan
setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat
bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua
kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat
sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah, 1/435-437)
Hal ini berdasarkan hadits-hadits
tegas yang telah kami sebutkan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan
bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana
matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’
(mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu
maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud
dalam dua raka’at.” (HR. Muslim
no. 901)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana
matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan
beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih
singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan
memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya.
Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya
beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai
mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Ringkasnya, agar tidak terlalu
berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:
[1] Berniat di dalam hati dan tidak
dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya
dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu
’alaihi wa sallam juga
tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para
sahabatnya.
[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir
sebagaimana shalat biasa.
[3] Membaca do’a istiftah dan
berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang
(seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih)
sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ
الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
[5] Kemudian bangkit dari ruku’
(i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
[6] Setelah i’tidal ini tidak
langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat
yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’
kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
[8] Kemudian bangkit dari ruku’
(i’tidal).
[9] Kemudian sujud yang panjangnya
sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu
mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan
gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
[11] Salam.
[12] Setelah itu imam menyampaikan
khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a,
beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul
Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih
Fiqih Sunnah, 1/438)
Saudaraku, takutlah dengan fenomena
alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir
akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang
sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat
album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan
Nabishallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini
adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari
kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu
’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ
حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ
وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ
هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu
‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan
terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau
mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah
melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya.
Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan
tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian
melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir,
berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat.
Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di
antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang
muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau
keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda
kiamat. (Syarh Muslim,
3/322)
Hendaknya seorang mukmin merasa takut
kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam saja
sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu
’alaihi wa sallam adalah
hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena
semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang
tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu
billahi min dzalik.
Demikian penjelasan yang ringkas ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin
yang lain juga dapat mengetahui hal ini. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu
yang bermanfaat, dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki
yang thoyib.
No comments:
Post a Comment